Sabtu, 04 Mei 2013

Selasa, 15 Mei 2012

Mengatasi Permasalahan Gizi Dan Pangan Indonesia

Mengatasi Permasalahan Gizi Dan Pangan Indonesia

Sehat adalah hak asasi manusia, sebagaimana tertera dalam deklarasi universal PBB tahun 1948. Sehat memungkinkan orang hidup sejahtera, dan produktif. Sehat memungkinkan keluarga tumbuh dan berkembang, dan berkontribusi produktif di komunitasnya. Sehat memungkinkan sebuah bangsa dengan daya tahan yang tinggi, dan berkontribusi positif dalam arena bangsa-bangsa di dunia.

Pembangunan di bidang kesehatan Indonesia dalam 5 tahun ke depan diarahkan untuk mencapai Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2010-2014. Sasaran yang ingin dicapai adalah menurunkan Angka Kematian Ibu (AKI), menurunkan Angka Kematian Bayi (AKB), dan menurunkan prevalensi gizi kurang. Dalam pencapaian MDG’S setiap negara diupayakan untuk mengatasi kemiskinan dan kelaparan serta mengurangi tingkat kematian anak. Hal ini berkaitan erat dengan aspek gizi  dan pangan masyarakat. Status gizi serta ketersediaan pangan di masyarakat yang baik pastinya dapat mengatasi situasi kesehatan dan kelaparan ini. Akan tetapi permasalahan gizi dan pangan di Indonesia banyak mengalami hambatan akibat kemiskinan dan pelaksanaan program kebijakan yang ada.
Menurut Prof Soekirman, Masalah Gizi  adalah Gangguan kesehatan dan kesejahteraan seseorang, kelompok orang atau masyarakat sebagai akibat adanya ketidak seimbangan antara asupan (intake) dengan kebutuhan tubuh akan makanan dan pengaruh interaksi penyakit (infeksi). Ketidak seimbangan ini bisa mengakibatkan gizi kurang maupun gizi lebih. Gizi kurang atau yang biasa terlihat sebagai kelaparan, lebih lanjut dibedakan lagi menjadi gizi kurang makro (makronutrien) dan gizi kurang mikro (mikronutrien). Tubuh dalam memenuhi asupan gizinya tentu saja membutuhkan makronutrien, yaitu karbohidrat, lemak, protein, dan mikronutrien, vitamin, yodium, zat besi, seng, asam folat, dll. Untuk mikronutrien ini kebanyakan terlupakan akan pentingnya bagi tubuh, padahal dapat mengakibatkan gangguan kesehatan seperti yang diketahui yakni KVA, GAKI, anemia yang mengacu pada BBLR, gangguan intelektual, gangguan pertumbuhan, penurunan kekebalan bahkan kematian.
Hubungan yang sangat erat antara kematian bayi dengan kekurangan gizi. Keadaan gizi yang buruk akan menurunkan daya tahan anak sehingga anak mudah sakit hingga bisa berakibat pada kematian. Badan kesehatan dunia WHO memperkirakan bahwa 54% kematian bayi dan anak dilatarbelakangi keadaan gizi yang buruk. Menurut laporan Food and Agriculture Organization (FAO), terdapat sekitar 907 juta penduduk di negara berkembang mengalami kekurangan pangan. Ahmad Rusfidra (2005) menyatakan bahwa konsumsi protein hewani yang rendah banyak terjadi pada anak usia bawah lima tahun (balita), sehingga terjadi kasus busung lapar dan malnutrisi. Usia balita disebut sebagai periode “the golden age” (periode emas pertumbuhan), dimana sel-sel otak anak manusia sedang berkembang pesat. Fase ini, otak membutuhkan suplai protein hewani yang cukup agar berkembang optimal. Asupan kalori-protein yang rendah pada anak balita berpotensi menyebabkan gangguan pertumbuhan, meningkatkan risiko terkena penyakit, mempengaruhi perkembangan mental, menurunkan kecerdasan dan performa mereka di sekolah serta produktivitas tenaga kerja setelah dewasa.

Di Indonesia, merebaknya kasus gizi buruk atau malnutrisi pasca krisis ekonomi tahun 1997 yang lalu, masih menjadi bahasan dan dapat kita saksikan di media masa hingga kini. Sebelumnya Indonesia merupakan negara swasembada pangan (beras) yang dapat dikatakan sejahtera, akan tetapi sekarang dengan kondisi negara yang jauh berbeda, kita belum dapat menuntaskan masalah pangan kita. Masyarakat Indonesia yang merupakan negara yang berkembang ini, status gizi buruk dan kurang sangatlah besar bila dibanding negara-negara Asia lainnya. Permasalahan gizi buruk ini tentu tidak hanya masalah pada status gizi masyarakat akan tetapi juga berhubungan dan mempengaruhi status kesehatan dan pangan masyarakat. Sehingga dalam melaksanakan penyelesaian masalah gizi dibutuhkan pertimbangan pada aspek kesehatan dan pangan.
Status gizi masyarakat ditentukan oleh makanan yang dimakan. Makanan yang dimakan dipengaruhi oleh ketersediaan pangan di masyarakat, sistem pengolahan makanan tersebut, baik modern atau tradisional, baik atau kurang baik, hingga sampai kepada masyarakat dan dimanfaatkan untuk memenuhi asupan gizi dan kesehatan. Sedangkan aspek kesehatan menentukan kondisi imunitas tubuh dan penyakit sesuai dengan asupan gizi yang didapat. Selain itu banyak faktor lain yang berhubungan pula seperti pelayanan kesehatan, kemiskinan, pendidikan, sosial budaya, gaya hidup, yang kesemuanya berkaitan dengan status gizi sehingga dapat mempengaruhi produktivitas atau kualitas sumber daya masyarakat. Kondisi iklim saat ini yang berubah akibat pemanasan global ternyata juga ikut mempengaruhi ketahanan dan keamanan pangan. Walaupun Indonesia bukan satu-satunya negara yang mengalaminya, akan tetapi hal ini menimbulkan perhatian besar mengingat kita sebagai negara agraris. Kondisi ini dapat mengakibatkan rusaknya tanaman pangan maupun kurangnya kandungan gizi yang terkandung didalamnya. Sehingga mempengaruhi kondisi gizi masyarakat.
Mengatasi masalah gizi ini tidak harus merubah program-program yang telah ada. Dengan adanya pengoptimalan program dipandang lebih bijak daripada menghabiskan banyak uang pada program baru. Perlu ditinjau lagi siapakah yang menjadi objek masalah gizi yang akan dilakukan, karena permasalahan yang berbeda pasti sasaran intervensinya berbeda pula sehingga lebih meningkatkan keefektivan. Misal pada gizi buruk, selain bayi dipertimbangkan pula ibunya pada saat kehamilan. Kemudian perlu ditinjau dampak apa saja yang terjadi pada masalah kesehatan agar program yang ada sesuai diimbangi dengan tersedianya sumberdaya dan manusia. Pengoptimalan tentunya juga dibarengi dengan perbaikan yang dapat dipelajari dari evaluasi yang ada.
Permasalahan gizi dan pangan Indonesia tentu dapat diselesaikan dengan pengorganisasian kebijakan pemerintah pusat dan daerah yang baik. Untuk mencapai status perbaikan gizi dan pangan nasional peran pemerintah saja tidak cukup, karena proses pengawasan dan pendanaan yang setingkat nasional tidaklah mudah. Disini peran daerah diperlukan untuk dapat melaksanakan maupun menginovasikan program gizi dan pangan. Selama ini program tingkat nasional belum memberikan hasil yang baik dibandingkan program nasional di era orde baru seperti posyandu, KB, imunisasi, karena dipandang kebutuhan dan permasalahan di daerah berbeda-beda. Pemerintah daerah yang dianggap lebih memahami permasalahan daerahnya dituntut akan inovasinya serta jalinan hubungan kemitraan dengan swasta.
Di beberapa daerah, pengelolaan pangan seperti Klaten dengan swasembada beras dan Yogyakarta dengan berbagai program seperti Rumah Pemulihan Gizi, akan terwujud karena perhatian pemerintah daerah serta pengalokasian dana daerah yang baik. Apabila setiap daerah memiliki prestasi akan program gizi dan pangannya, tentu lebih memudahkan pemerintah pusat tercapainya status gizi dan pangan yang baik. Seperti halnya bidang kesehatan, jika pemerintah pusat harus menanggung biaya kesehatan nasional, maka anggaran dana cepat habis sebelum digunakan untuk kesejahteraan. Untuk itu lebih bijak dilaksanakan program pencegahan daripada pengobatan, kaitannya dengan gizi dan pangan tadi, tindakan pencegahan berupa pemerintahan daerah yang baik dalam melakukan program.
Kebijakan dalam permasalahan gizi dan pangan ini dilakukan dengan KIE gizi dan pangan serta program lain yang kreatif. Dengan KIE dan program ini diharapkan kemandirian dan partisipasi masyarakat untuk dapat mengatasi masalah gizi dan pangan masyarakat tersebut, jadi bernuansa community based management. Dalam KIE dilakukan pendidikan / edukasi sehingga masyarakat tidak hanya mengerti tetapi juga dapat menerapkan PHBS, kesadaran akan gizi dan kesehatan serta keinginan untuk mencari informasi tentang kesehatan. Sasarannya mungkin lebih kepada ibu-ibu karena biasanya terdapat perkumpulan ibu-ibu PKK dan juga mengingat perannya sebagai pengatur asupan gizi dalam menu makan keluarga.
Program lainnya dapat berupa dibentuknya Rumah Gizi yang memberikan informasi tentang gizi pada anak, dan tidak hanya itu, dapat juga dijadikan tempat untuk memeriksa status gizi anak serta pengobatan dan pemeliharaannya.
Kebijakan lain yang perlu diperhatikan berkaitan dengan ketersediaan pangan adalah diversifikasi dan alternatif pangan. Ketersediaan pangan dibutuhkan apabila ingin status gizi masyarakat lebih baik. Kebijakan mono kultur beras adalah jalan yang tidak tepat untuk mengatasi kekurangan pangan (gizi) di negara kita. Walaupun teknologi perberasan Indonesi sudah yang paling produktif dan terefisien di Asia Tenggara. Produksi pangan pada tahun 2006, beras 31 juta ton, singkong 19 juta ton, ubi jalar 1,2 juta ton, jagung 12 juta ton, cukup untuk kebutuhan pangan warga Indonesia. Namun karena 62 % penduduk sekarang bergantung hanya pada padi-padian, sehingga menjadi kekurangan pangan. Diversifikasi dan alternafiv pangan dapat mengembangkan gandum, jagung, ubi serta umbi-umbian yang setara beras untuk dapat dimanfaatkan mengingat suplai kita telah ada. Diversifikasi ini juga dapat meringankan penduduk yang miskin.


SUMBER PUSTAKA

Anonim. Kemiskinan Kelaparan dan Kekurangan Gizi Adalah Masalah Kompleks. 2010. Diakses dari halaman http://www.depkes.go.id/index.php/berita/press-release/1108-kemiskinan-kelaparan-dan-kekurangan-gizi-adalah-masalah-kompleks.html
Anonim. Menkes Resmikan Rumah Pemulihan Gizi Balita. 2010. Diakses dari halaman http://www.depkes.go.id/index.php/berita/press-release/848-menkes-resmikan-rumah-pemulihan-gizi-balita.html
Junadi, Purnawan. Jalan Cerdas Menuju Sehat. FKM UI 2007. Diunduh dari halaman http://www.litbang.depkes.go.id/download/pidato/Pengukuhan_PJ.pdf
Soekirman. Perlu Paradigma Baru Untuk Menanggulangi Masalah Gizi Makro Di Indonesia. Diunduh dari halaman http://www.litbang.depkes.go.id/download/artikel/prof-soekirman.pdf
Tawaf, Rochadi. Tiada Prestasi Tanpa Gizi. 2009. Diakses dari halaman http://agribisnews.com/opini/46-tiada-prestasi-tanpa-gizi.html

Senin, 16 Februari 2009

MASUK KE ISTANA SENTRIS SMAGA

assalamualaikum wr.wb

MARILAH KITA SEMUA MASUK KE ISTANA PERGURUAN SMAGA TERCINTA.........

COME ON-COME ON!!!!

www.sma3lumajang.net
www.

Senin, 09 Februari 2009

Senin, 08 Desember 2008

3 Masalah Gizi yang Banyak Menyerang Remaja

3 Masalah Gizi yang Banyak Menyerang Remaja


img
(Foto: thinkstock)
Jakarta, Remaja tetap membutuhkan asupan nurisi yang baik agar perkembangan dan pertumbuhannya lebih maksimal. Namun ada beberapa masalah gizi yang kerap menyerang kaum remaja.

Saat remaja terjadi perubahan fisiologis yang bisa mempengaruhi kebutuhan gizi termasuk untuk pertumbuhan yang cepat, biasanya pertumbuhan cepat lebih banyak terlihat pada remaja laki-laki. Namun remaja kadang memilih makanan yang tidak tepat sehingga mempengaruhi asupan gizi yang masuk ke tubuhnya.

Berikut ini beberapa masalah gizi yang banyak menyerang kaum remaja, seperti dikutip dari BBCHealth, Senin (16/1/2012) yaitu:

1. Kekurangan zat besi
Kondisi ini merupakan hal yang paling umum dijumpai. Pertumbuhan yang cepat ditambah dengan gaya hidup dan pilihan makanan yang buruk bisa mengakibatkan remaja mengalami anemia akibat kekurangan zat besi, terutama pada remaja putri ketika ia sudah mengalami menstruasi.

Sumber makanan utama yang mengandung zat besi adalah daging merah, sereal, buah kering, roti dan sayuran berdaun hijau. Sumber zat besi yang berasal dari non-daging membutuhkan asupan nutrisi lain untuk meningkatkan penyerapannya seperti makanan kaya vitamin C (jeruk, blackcurrant dan sayuran berdaun hijau), sedangkan zat tanin yang terkandung dalam teh bisa mengurangi penyerapan zat besi.

2. Kekurangan kalsium
Survei menemukan sekitar 25 persen remaja memiliki asupan kalsium lebih rendah dari yang direkomendasikan sehingga berdampak terhadap kesehatan tulangnya di masa depan, salah satunya adalah osteoporosis yang membuat tulang rapuh dan mudah patah.

Tulang akan terus tumbuh dan diperkuat sampai usia 30 tahun dan masa remaja adalah waktu yang sangat penting untuk perkembangan ini. Nutrisi yang diperlukan seperti vitamin D, kalsium dan fosfor.

Sumber kaya kalsium yang sebaiknya dikonsumsi adalah susu dan produk susu, misalnya segelas susu, 150 gram yogurt dan sepotong keju ukuran kecil. Jika tidak bisa mengonsumsi produk susu, maka konsumsilah susu kedelai yang sudah difortifikasi, atau jika takut dengan kandungan lemak pilihlah susu yang rendah lemak (low fat).

3. Kekurangan gizi akibat salah diet
Berbagai studi melaporkan kaum remaja terutama perempuan banyak yang tidak puas dengan berat badannya, sehingga melakukan diet dengan cara yang salah seperti melewatkan waktu makan, menghindari daging merah, tapi mengonsumsi makanan ringan dan bergula.

Hal ini bukanlah pilihan yang tepat dan sehat karena pada usia tersebut tubuh mengalami percepatan pertumbuhan yang menuntut adanya peningkatan nutrisi. Jika diet yang dilakukan salah maka tubuh akan mendapatkan nutrisi yang penting dalam jumlah kecil atau tidak sama sekali.

Sebaiknya konsumsilah makanan secara masuk akal, olahraga teratur, mengurangi makanan bergula dan banyak lemak untuk mengurangi kelebihan kalori sambil tetap mempertahankan nutrisi yang masuk. Selain itu masa-masa remaja merupakan waktu yang banyak menyebabkan perkembangan gangguan makan.